Khutbah Jumat Singkat Terbaru

Mari bersama menabung pahala amal jariyah untuk kehidupan kita kelak di akhirat.   BSI: 7086882242
a.n. Yayasan Yufid Network  

Seluruh dana untuk operasional produksi konten dakwah di Yufid: Yufid.TV, YufidEDU, Yufid Kids, website dakwah (KonsultasiSyariah.com, Yufid.com, KisahMuslim.com, Kajian.Net, KhotbahJumat.com, dll).

Yufid menerima zakat mal untuk operasional dakwah Yufid

Fikih

Kupas Tuntas Masalah Salat Jumat bagi Muqim, Mustauthin, dan Musafir

السؤال

أرجو بيان الدليل على أن الاستيطان شرط من شروط صحة الجمعة، ‏فلم أقف على دليل لذلك إلا ما ثبت ‏أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يأمر أهل البادية بالجمعة، ‏وهذا يدل على إنه لا يجب عليهم أن يقيمو الجمعة، ولا يدل على إنها لا تصح منهم، ‏وكذلك فإن جمهور العلماء لا يوجبون على المقيمين غير المستوطنين الجمعة، إلا إذا كان معهم العدد من المستوطنين الذي تنعقد بهم الجمعة، ‏ولم يثبت أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ‏رخص ‏في ترك الجمعة إلا لخمس، العبد، والمرأة، الصبي، والمريض، والمسافر، والمقيم ليس مسافرا

Pertanyaan:

Mohon penjelasan dalil bahwa Istīṯhān adalah salah satu syarat sahnya salat Jumat. Saya tidak menemukan dalil-dalilnya kecuali sebuah riwayat sahih bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak memerintahkan orang-orang badui salat Jumat. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak wajib menyelenggarakan salat Jumat, tetapi tidak menunjukkan bahwa salat yang mereka kerjakan tidak sah. Demikian pula, mayoritas ulama tidak mewajibkan salat Jumat bagi orang yang Muqīm yang bukan Mustauṯhin, kecuali jika mereka bersama Mustauṯhin yang jumlahnya mencukupi untuk menyelenggarakan salat Jumat. Padahal Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak membolehkan seseorang meninggalkan salat Jumat kecuali lima orang saja, yaitu budak, perempuan, anak kecil, orang sakit, dan musafir. 

‏والمقيم ليس مسافرا، لا يحل له ‏أن يترخص ‏برخص المسافر، ‏وكذلك لا يخفى إنه ليس من أهل البادية ‏الذين لم يأمرهم ‏رسول الله صلى الله عليه وسلم بإقامة الجمعة. ‏ولم ‏يثبت عنه صلى الله عليه وسلم أنه قال: الاستيطان شرط في صحة الجمعة، أو في وجوبها. ‏فكيف لا تجب، على المقيمين صلاة الجمعة استقلالا من غير عدد من المستوطنين، وكذلك لا تصح منهم؟ فالذي يقيم في مدينة أو قرية، سواء نوي إقامة أبدية أو مؤقته، فانه ليس مسافرا، وليس من أهل البادية، وأهل البادية لا يسكنون المدن والقرى، فلا تجب عليهم الجمعة. اما من يسكن المدن والقرى فتجب عليه حضور الجمعة إذا كان من أهلها، والمقيم غير المستوطن بنية أبدية يسكن في المدن والقرى، وإن كنات نيته مؤقته، لا سيما البعض ربما ينوي البقاء سنين طويلة، وربما لا يكون في المدينة من المسلمين إلا غير المستوطنين، إذا كانت البلد كافرة، فعلى قول الجمهور لا تصح منهم الجمعة حتى إذا كانو أولوفا، وعزموا على البقاء مدة طويلة، كيف هذا؟

Orang yang Muqīm bukanlah musafir, sehingga dia tidak diperbolehkan mengambil rukhsah yang diberikan kepada seorang musafir. Demikian pula, bukan rahasia lagi bahwa ia tidak termasuk kalangan badui yang tidak diperintahkan salat Jumat oleh Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Pun tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengatakan bahwa Istīṯhān adalah syarat sah atau syarat wajib salat Jumat. Lalu, bagaimana mungkin orang yang statusnya Muqīm tidak wajib bahkan tidak sah jika menyelenggarakan salat Jumat secara mandiri jika tanpa adanya sejumlah Mustauṯhin? Orang yang tinggal di kota atau pedalaman, baik ia berniat untuk tinggal menetap atau untuk sementara waktu, maka ia bukanlah seorang musafir maupun orang badui, karena orang badui adalah orang yang tidak tinggal di kota maupun di pedalaman (nomaden), sehingga tidak wajib bagi mereka salat Jumat. Adapun bagi orang-orang yang tinggal di kota maupun di pedalaman, maka wajib baginya untuk menghadiri salat Jumat jika memang dia terkena kewajibannya. Adapun orang yang Muqīm —yang bukan Mustauṯhin yang berniat tinggal selamanya— yang tinggal di kota dan desa, meskipun niatnya hanya tinggal sementara waktu, apalagi sebagian orang berniat untuk tinggal bertahun-tahun lamanya, di mana bisa jadi di suatu negara kafir ada suatu kota yang tidak ada umat Islamnya kecuali mereka yang statusnya sebagai Muqīm. Berdasarkan pendapat mayoritas ulama, maka salat Jumat mereka tidak sah walaupun jika jumlah mereka ribuan dan berniat menetap dalam waktu lama. Bagaimana ini?

الجواب

الحمد لله.

الناس بالنسبة للسفر والإقامة-على المشهور عند العلماء- ثلاثة أنواع :

مستوطن، ومسافر، ومقيم.

النوع الأول : المستوطن ، وهو من اتخذ المكان وطنا ، وأقام فيه إقامة دائمة .

فمن كان هذا حاله، فإنه تجب عليه الجمعة بلا خلاف، إذا توفرت سائر شروط وجوبها ؛ وذلك لأن قوله تعالى : يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ الجمعة/9، قد نزل ابتداء مخاطبا المستوطنين بالمدينة، وسياقها يدل على الاستيطان.

Jawaban:

Alhamdulillah. Orang-orang dari sisi statusnya sebagai orang yang bepergian atau menetap —menurut pendapat yang populer di kalangan para ulama— terbagi menjadi tiga kategori:

  • Mustauṯhin (penduduk tetap)
  • Musāfir (orang yang sedang bepergian)
  • Muqīm (Pemukim untuk sementara waktu).

Kategori Pertama adalah Mustauṯhin

Mustauṯhin adalah orang yang menjadikan suatu wilayah sebagai tempat tinggalnya dan menetap di situ selamanya. Barang siapa yang demikian statusnya, maka salat Jumat wajib baginya tanpa ada perbedaan pendapat, jika seluruh syarat kewajibannya terpenuhi. Hal ini berdasarkan firman-Nya Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jumat, maka segeralah kalian mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9) Ayat ini turun pertama kali ditujukan kepada para penduduk tetap di kota Madinah, di mana konteksnya menunjukkan bahwa mereka berstatus Istīṯhān

قال الشيخ عطية سالم رحمه الله تعالى:

” فلا تصح في غير وطن، ولا تلزم غير مستوطن، ومن قال بغير ذلك فقد خالف الأئمة، وشذ عن الأمة، وليس له سلف فيما ذهب إليه، والذي قاله الجمهور يشهد له سياق القرآن الكريم بالإيماء والإشارة؛ لأننا لو أخذنا بعين الاعتبار الأمر بالسعي إلى ذكر الله، وترك البيع حتى لا يشغل عنها، ثم الانتشار في الأرض بعد قضائها؛ لتحصل عندنا من مجموع ذلك كله: أن هناك جماعة نوديت، وكُلِّفْتْ باستجابة النداء والسعي، ثم الكف عن البيع الذي يشغل عن السعي، ومثل هذا البيع الذي يكلفون بالكف عنه، والذي يخشى منه شغل الناس عن السعي إلى الجمعة: لا يكون عقدا بين اثنين فقط، ولا يكون عملا فرديا، بل يُشعر بأنه عمل بين أفراد عديدين، ومبايعات متعددة، مما يشكل حالة السوق، والسوق لا يكون في البوادي، بل في القرى وللمستوطنين ” انتهى من “تتمة أضواء البيان” (8/304).

Syekh ʿAṯhiyyah Salim —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa salat Jumat tidak sah dilakukan di selain wilayah yang berstatus Waṯhan (wilayah yang didiami oleh Mustauṯhin) dan tidak diwajibkan bagi selain Mustauṯhin. Barang siapa yang mengatakan sebaliknya, berarti dia telah menyelisihi para imam (ulama), menyimpang dari umat, dan tidak memiliki Salaf dalam pendapatnya itu. Pendapat jumhur ini didukung dengan konteks yang terkandung dalam al-Quran yang mulia secara isyarat dan tersirat. Karena jika kita hanya memerhatikan perintah untuk bersegera mengingat Allah, meninggalkan jual beli agar tidak melalaikan dari salat Jumat, dan disuruh untuk menyebar lagi ke penjuru bumi setelah menunaikannya, maka dari semua itu kita bisa menyimpulkan bahwa: ada sejumlah orang yang dipanggil dan diwajibkan memenuhi dan bersegera menjawab seruan itu, dan berhenti dari jual beli yang bisa menyibukkan dirinya darinya. Jual beli seperti ini, yang diharuskan untuk diberhentikan dan yang dikhawatirkan melalaikan perhatian orang-orang dari salat Jumat bukanlah akad antara dua pihak saja dan bukan pekerjaan individu, melainkan pekerjaan yang melibatkan banyak orang dan bermacam-macam transaksi. Ini adalah unsur yang membentuk keadaan pasar. Sementara pasar (waktu itu) tidak ada di daerah orang-orang badui (masyarakat nomadik), melainkan di kota di tengah masyarakat Mustauṯhīn. Tatimmah Aḏwāʾ al-Bayān (8/304) .

وعلى هذا ؛ فأهل البوادي، وهم الذين لا يقيمون في مكان إقامة دائمة ، وإنما يتنقلون صيفًا وشتاءً يتتبعون مواضع المطر والنبات والماء ، فلا تجب عليهم الجمعة ، ولا تصح منهم ، لأن النبي صلى الله عليه وسلم لم يأمرهم بإقامة الجمعة ، ولو كانت صحيحة منهم لأمرهم النبي صلى الله عليه وسلم بها – أمر استحباب على الأقل – لأن إقامة الجمعة أفضل من صلاة الظهر . فعدم أمر النبي صلى الله عليه وسلم لأهل البوادي بإقامة الجمعة، يدل على أنها غير صحيحة منهم .

Jadi, orang-orang badui —yaitu orang-orang yang tidak menetap selamanya di suatu tempat, melainkan setiap musim dingin atau panas berpindah dan mengikuti tempat turunnya hujan dan keberadaan tanaman dan air— tidak diwajibkan menunaikan salat Jumat. Pun salat Jumat yang mereka selenggarakan tidak sah, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak pernah memerintahkan mereka untuk menyelenggarakan salat Jumat. Jika salat mereka dianggap sah, tentu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam akan memerintahkan mereka menyelenggarakannya atau minimal menganjurkannya, karena salat Jumat lebih utama daripada salat zuhur. Ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak memerintahkan orang-orang badui menyelenggarakannya, itu artinya bahwa salat yang mereka kerjakan itu tidak sah.

قال الحافظ ابن حجر رحمه الله تعالى:

” قوله: ( لم تقم الْجُمُعَة في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا في عهد الخلفاء الراشدين إلا في موضع الإقامة، ولم يقيموا الْجُمُعَة إلاَّ في موضع واحد، ولم يجمعوا إلا في المسجد الأعظم، مع أنهم أقاموا العيد في الصحراء والبلد، للضعفة وقبائل العرب كانوا مقيمين حول المدينة، وما كانوا يصلون الْجُمُعَة ولا أمرهم النبي صلى الله عليه وسلم بها ). ذكر هذا مفرَّقًا، وكلّ هذه الأشياء المنفية: مأخذُها بالاستقراء، فلم يكن بالمدينة مكان يجمع فيه إلا مسجد المدينة” انتهى من “التلخيص الحبير” (3/ 991-992).

Al-Hafiz Ibnu Hajar —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa perkataan beliau, “Pada masa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan para Khulafaur Rasyidin, salat Jumat tidak diadakan kecuali di wilayah berpenduduk tetap dan di satu tempat saja. Manusia tidak berkumpul kecuali di Masjid Besar (Masjid Nabawi), padahal mereka juga mendirikan salat di gurun pasir dan di pedesaan. Banyak komunitas masyarakat dan kabilah bangsa Arab yang dahulu bermukim di sekitar Madinah, tetapi mereka tidak melaksanakan salat Jumat dan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pun tidak memerintahkan mereka untuk melakukannya. Dia menyebutkan hal ini secara terpisah, dan semua ini dinafikan. Landasannya adalah Istiqrāʾ (kesimpulan induktif), di mana orang-orang di kota Madinah kala itu tidak berkumpul kecuali di masjid Madinah (Nabawi). Selesai kutipan dari at-Talkhīs al-H̱abīr (3/991-992 ).

وجاء في “الموسوعة الفقهية” (8/46):

“سُقُوطُ الْجُمُعَةِ وَالْعِيدَيْنِ:

لاَ تَجِبُ الْجُمُعَةُ عَلَى أَهْل الْبَادِيَةِ. وَلَوْ أَقَامُوهَا فِي بَادِيَتِهِمْ لاَ تَصِحُّ جُمُعَةٌ لِعَدَمِ الاِسْتِيطَانِ، حَيْثُ لَمْ يُؤْمَرْ بِهَا الْبَدْوُ مِمَّنْ كَانُوا حَوْل الْمَدِينَةِ، وَلاَ قَبَائِل الْبَادِيَةِ مِمَّنْ أَسْلَمُوا ، وَلاَ أَقَامُوهَا، وَلَوْ أَقَامُوهَا لَنُقِل ذَلِكَ ، بَل لاَ تُجْزِئُهُمْ عَنِ الظُّهْرِ، وَلَكِنْ إِذَا كَانُوا مُقِيمِينَ بِمَوْضِعٍ يَسْمَعُونَ فِيهِ نِدَاءَ الْحَضَرِ وَجَبَتْ عَلَيْهِمْ” انتهى.

Disebutkan dalam al-Mausūʿah al-Fiqhiyyah (8/46): Gugurnya Salat Jumat dan Dua Hari Raya: Salat Jumat tidak diwajibkan bagi orang-orang badui. Jika mereka menyelenggarakannya di wilayah yang sedang mereka diami, maka salat itu tidak sah karena status mereka bukan Mustauṯhin, karena dahulu orang-orang badui yang ada di sekitar kota Madinah maupun kabilah-kabilah badui yang sudah masuk Islam tidak diperintahkan untuk salat Jumat. Mereka juga tidak pernah menyelenggarakannya. Sekiranya mereka menyelenggarakannya, tentu sudah diriwayatkan nukilannya. Bahkan jika mereka menyelenggarakannya, hal itu tidak cukup menggantikan kewajiban salat Zuhur mereka. Namun, jika mereka menetap di suatu wilayah di mana mereka mendengar panggilan azan (salat Jumat) yang diselenggarakan oleh penduduk tetap, maka mereka wajib menghadirinya. Selesai kutipan.

وقال أبو إسحق الشيرازي الشافعي رحمه الله في “المهذب” :”ولا تصح الجمعة إلا في أبنية يستوطنها من تنعقد بهم الجمعة، من بلد أو قرية ، لأنه لم تقم الجمعة في عهد رسول الله صلي الله عليه وسلم ، ولا في أيام الخلفاء؛ إلا في بلد أو قرية، ولم ينقل أنها أقيمت في بدو” انتهى.

Abu Ishaq asy-Syirazi asy-Syafii —Semoga Allah Merahmatinya— berkata dalam al-Muhadzdzab bahwa salat Jumat tidak sah kecuali diselenggarakan di bangunan di kota atau desa yang didiami oleh para Mustauṯhin yang menyelenggarakan salat Jumat, karena di zaman Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan pada khalifah, salat Jumat hanya didirikan di kota atau desa. Tidak ada riwayat bahwa salat Jumat diselenggarakan di wilayah nomadik. Selesai kutipan. 

 قال النووي رحمه الله في شرحه “المجموع” (4/367): “قال أصحابنا : يشترط لصحة الجمعة أن تقام في أبينة مجتمعة ، يستوطنها شتاء وصيفا : من تنعقد بهم الجمعة . قال الشافعي والأصحاب : سواء كان البناء من أحجار أو أخشاب أو طين أو قصب أو سعف أو غيرها ، وسواء فيه البلاد الكبار ذوات الأسواق ، والقرى الصغار ، والأسراب المتخذة وطنا . فإن كانت الأبنية متفرقة لم تصح الجمعة فيها بلا خلاف ، لأنها لا تعد قرية ، ويرجع في الاجتماع والتفرق الي العرف ، وقد أهمل المصنف اشتراط كونها مجتمعة ، مع أنه ذكره في التنبيه ، واتفقوا عليه. وأما أهل الخيام : فإن كانوا ينتقلون من موضعهم شتاء أو صيفا ، لم تصح الجمعة فيها، بلا خلاف … إلخ” انتهى.

An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata dalam penjelasan kitab al-Majmūʿ (4/367), “Para sahabat kami berkata bahwa syarat sahnya salat Jumat adalah diselenggarakan di bangunan pada suatu wilayah masyarakat berpenduduk tetap, yang mana mereka menetap di sana baik pada musim dingin atau musim panas. Imam Syafii dan para sahabatnya berkata bahwa baik bangunan itu terbuat dari batu, kayu, tanah liat, alang-alang, pelepah, atau yang lainnya, baik terletak di kota-kota besar dengan banyak pasar, desa-desa kecil, maupun kawasan yang dijadikan Waṯhan oleh orang-orang. Jika bangunan-bangunannya terpencar-pencar, maka salat Jumat padanya tidak sah tanpa perbedaan pendapat, karena tidak bisa dianggap sebagai desa. Standar menyatu dan berpencar ini dikembalikan kepada al-ʿUrf (kebiasaan setempat). Penulis mengesampingkan syarat status masyarakat Mustauṯhin ini padahal dia menyebutkannya dalam catatan yang dia berikan, sementara ini adalah hal yang disepakati. Adapun wilayah para penghuni tenda (orang-orang nomadik), yang mereka berpindah dari tempatnya menyesuaikan musim dingin atau musim panas, maka salat Jumat di sana tidak sah tanpa ada silang pendapat … dan seterusnya. Selesai kutipan.

النوع الثاني: المسافر.

وأكثر أهل العلم على عدم وجوب صلاة الجمعة على المسافرين ، سواء كانوا نازلين أو سائرين.

قال ابن المنذر رحمه الله تعالى:

” قال كثير من أهل العلم: لا جمعة على المسافر” انتهى من “الإشراف” (2/84).

وقال ابن قدامة رحمه الله تعالى:

” وأما المسافر : فأكثر أهل العلم يرون أنه لا جمعة عليه كذلك. قاله مالك في أهل المدينة، والثوري في أهل العراق، والشافعي، وإسحاق، وأبو ثور وروي ذلك عن عطاء، وعمر بن عبد العزيز، والحسن، والشعبي ” انتهى من “المغني” (3/216).

Kategori Kedua adalah Musafir.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa mereka tidak wajib salat Jumat, baik mereka sedang menempuh perjalanan atau sedang singgah. Ibnul Mundzir —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Banyak ulama yang berpendapat tentang tidak wajibnya salat Jumat bagi musafir.” Selesai kutipan dari al-Isyraf (2/84). Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Adapun musafir, sebagian besar ulama berpendapat bahwa mereka tidak wajib menunaikan salat Jumat juga. Pendapat ini dikatakan oleh Malik kepada penduduk Madinah dan ats-Tsauri kepada penduduk Irak, serta Syafii, Ishaq, dan Abu Tsaur dari ʿAṯhāʾ, Umar bin Abdul Aziz, al-Hasan, dan asy-Sya’bi.” Selesai kutipan dari al-Mughni.(3/216).

ودليل هذا : فعل النبي صلى الله عليه وسلم ، فإنه كان يسافر ولم يكن يصلي الجمعة في سفره ، وإنما كان يصليها ظهرًا ، كما يظهر ذلك صريحا في حجته صلى الله عليه وسلم ، وقد كان معه جمع كبير جدًّا من المسلمين ، وكانوا نازلين غير سائرين ، ورغم هذا لم يقم الجمعة ولا مانع له من إقامتها إلا أنه مسافر، وعلى هذا مضى أصحابه رضوان الله عليهم أجمعين.

قال الشيخ الألباني رحمه الله تعالى:

” حديث: ( أنه صلى الله عليه وسلم سافر هو وأصحابه في الحج وغيره ، فلم يصل أحد منهم الجمعة فيه ، مع اجتماع الخلق الكثير ).

وإن كنت لم أره مروياً بهذا اللفظ، ولكن الاستقراء يدل عليه، وقد ثبت في حديث جابر الطويل في صفة حجة النبي صلى الله عليه وسلم عند مسلم وغيره: ( حتى أتى عرفة … فصلى الظهر، ثم أقام فصلى العصر ).

وقد كان ذلك يوم جمعة كما في الصحيحين وغيرهما ” انتهى من “إرواء الغليل” (3/60).

Dalilnya adalah perbuatan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang apabila beliau sedang melakukan safar, beliau tidak mendirikan salat Jumat dalam safarnya, melainkan melakukan salat Zuhur. Hal itu tampak jelas saat beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersafar haji, di mana beliau dibersamai kaum muslimin dalam jumlah yang sangat besar, sementara mereka sedang singgah dan tidak sedang melakukan perjalanan, meskipun demikian, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak menyelenggarakan salat Jumat. Jadi, tiada alasan bagi beliau tidak menyelenggarakannya kecuali safar. Seperti ini pula yang dilakukan oleh para Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka—. Syekh al-Albani —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa hadis yang menyatakan: “Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan para Sahabatnya saat safar untuk haji atau yang lainnya, maka tidak ada seorang pun dari mereka yang melaksanakan salat Jumat meskipun ada banyak orang yang berkumpul.” Meskipun saya belum mendapatkan redaksi riwayat yang seperti ini, tetapi hal itu bisa disimpulkan dengan metode Istiqrāʾ. Ada sebuah riwayat sahih dalam hadis Jabir yang panjang lebar menggambarkan haji Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang diriwayatkan oleh Muslim dan lain-lain, “Sampai beliau tiba di Arafah … lalu salat Zuhur, lalu berdiri lagi dan dilanjutkan Asar. Itu terjadi pada hari Jumat, …” sebagaimana tersebut dalam Sahihain dan lainnya. Selesai kutipan dari Irwāʾ al-Ghalīl (3/60).

وقال ابن قدامة رحمه الله تعالى:

” ولنا، أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يسافر فلا يصلي الجمعة في سفره، وكان في حجة الوداع بعرفة يوم جمعة، فصلى الظهر والعصر، وجمع بينهما، ولم يصل جمعة ، والخلفاء الراشدون رضي الله عنهم، كانوا يسافرون في الحج وغيره، فلم يصل أحد منهم الجمعة في سفره، وكذلك غيرهم من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم ومن بعدهم … ” انتهى من “المغني” (3/ 216-217).

وبناء على هذا قالوا بأن المسافرين لا يصح لهم أن يستقلوا بإقامة الجمعة.

Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Menurut kami, Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dahulu ketika safar tidak melakukan salat Jumat dalam safarnya. Pun ketika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menunaikan manasik haji di Arafah pada hari Jumat, beliau menjamak salat Zuhur dan Asar dan tidak melakukan salat Jumat. Demikian juga para Khulafaur Rasyidin —Semoga Allah Meridai mereka— dalam safar mereka untuk haji dan lain-lain. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mengerjakan salat Jumat dalam safar, begitu pula para Sahabat Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang lain dan orang-orang setelah mereka ….” Selesai kutipan dari al-Mughni (3/216-217). Berdasarkan hal tersebut, maka para ulama mengatakan tidak sahnya salat Jumat yang diselenggarakan hanya oleh para musafir saja.

قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله:

” فإذا قال قائل: ترك النبي صلى الله عليه وسلم للجمعة لا يدل على أنها غير مشروعة؟

فالجواب: بلى؛ لأنها لو كانت مشروعة لكانت عبادة، وهي فريضة واجبة، ولا يمكن أن يدع النبي صلى الله عليه وسلم الواجب، فإذا كان سبب الفعل موجودا، ولم يفعل الرسول صلى الله عليه وسلم ذلك ؛ علم أن فعله يكون بدعة، وقد قال صلى الله عليه وسلم: (من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد).

وهذه قاعدة مفيدة لطالب العلم: ( كل شيء سببه موجود في عهد الرسول صلى الله عليه وسلم، ولم يفعله، فالتعبد به بدعة )، فالجمعة في السفر سببها موجود في عهد النبي صلى الله عليه وسلم، ولكنه لم يفعلها، فإذا فعلها إنسان قلنا له: عملت عملا ليس عليه أمر الله ورسوله، فيكون عملا مردودا ” انتهى من “الشرح الممتع” (5/12).

Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika ada yang berkata, “Ketika Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam meninggalkan salat Jumat (dalam safar), maka itu tidak berarti tidak disyariatkan (diperintahkan).” Jawabannya, “Tentu,” karena jika hal itu disyariatkan, maka itu adalah ibadah. Padahal ini adalah keharusan dan kewajiban, sementara Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak mungkin mengabaikan perkara yang wajib. Jika sebab-sebab untuk melakukan sesuatu ada tapi Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak melakukannya, maka bisa diketahui bahwa perbuatannya itu merupakan suatu bidah, sementara beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang melakukan suatu amal tanpa ada perintah kami, maka ia tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ini adalah satu kaidah yang bermanfaat bagi para penuntut ilmu bahwa segala sesuatu yang sebabnya ada pada masa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tapi beliau tidak melakukannya, maka beribadah dengannya adalah bidah. (Menyelenggarakan) Salat Jumat ketika safar sebabnya sudah ada pada masa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, tetapi beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak melakukannya. Maka dari itu, jika ada orang yang melakukannya, maka kami katakan, “Anda telah melakukan suatu amal tanpa ada perintah dari Allah dan Rasul-Nya sehingga amalan itu tertolak.” Selesai kutipan dari asy-Syarẖ al-Mumtiʿ (5/12).

وجاء في “فتاوى اللجنة الدائمة” (8/181):

“أما القول بوجوب الجمعة على البادية، فلا أصل له في الشرع المطهر، وكانت البوادي في عهد النبي صلى الله عليه وسلم حول مكة والمدينة وغير ذلك من الجزيرة ، ولم يثبت عنه صلى الله عليه وسلم أنه أمرهم بصلاة الجمعة، وإنما كانوا يصلون ظهرا، ولأن طبيعة البادية التنقل والتفرق في الأرض بطلب الرعي والماء، ومن رحمة الله سبحانه أن أسقط عنهم فرض الجمعة، ولأن لهم شبها بالمسافرين، والمسافر لا جمعة عليه، وقد سافر النبي صلى الله عليه وسلم أسفارا كثيرة لا تحصى، ولم يعلم عنه صلى الله عليه وسلم أنه أقام الجمعة في شيء من أسفاره، وثبت عنه صلى الله عليه وسلم أنه في حجة الوداع صلى يوم الجمعة ظهرا، ولم يصل جمعة، وكان ذلك في يوم عرفة بمشهد الجم الغفير من المسلمين؛ فعلم بذلك عدم شرعية الجمعة للمسافرين وأمثالهم من البادية.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.

اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء

الشيخ عبد الله بن قعود … الشيخ عبد الله بن غديان … الشيخ عبد العزيز بن عبد الله بن باز” انتهى .

Disebutkan dalam fatwa al-Lajnah ad-Dāʾimah (8/181) bahwa berkenaan dengan pendapat yang mengatakan bahwa salat Jumat itu wajib bagi orang-orang badui, maka itu tidak ada dasarnya dalam syariat yang suci ini. Tidak ada dalil bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkan orang-orang badui pada masa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang berada di sekitaran Makkah, Madinah, dan wilayah lain di semenanjung Arab untuk salat Jumat. Namun mereka mengerjakan salat Zuhur, karena kebiasaan masyarakat badui adalah berpindah-pindah dan berpencar-pencar ke berbagai penjuru untuk mencari tempat menggembala dan air. Maka dari itu, karena bentuk rahmat Allah, Dia Menggugurkan kewajiban salat Jumat dari mereka dan karena mereka hukumnya mirip dengan musafir. Seorang musafir tidak wajib menunaikan salat Jumat, sebagaimana Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersafar berkali-kali tanpa pernah diketahui bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menegakkan salat Jumat walau hanya sekali dalam safarnya. Ada sebuah riwayat sahih bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam saat haji Wadāʿ melakukan salat Zuhur saat hari Jumat dan tidak salat Jumat. Itu terjadi pada hari Arafah di hadapan banyak sekali kumpulan kaum muslimin. Dengan demikian, bisa diketahui bahwa salat Jumat itu tidak disyariatkan bagi musafir dan orang-orang badui yang seperti musafir. Dengan taufik dari Allah. Semoga selawat serta salam dari Allah tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para Sahabatnya. Komite Tetap Urusan Penelitian Ilmiah dan Fatwa Arab Saudi. Tertanda: Syekh Abdullah bin Quʿūd, Syekh Abdullah bin Ghadian, dan Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. Selesai kutipan.

النوع الثالث : وهو المقيم .

وهو المسافر الذي أقام في بلد مدةً تقطع عند وصف السفر، كما لو أقام ببلد شهرا أو أكثر من ذلك ، فهذا المقيم يشبه المستوطن من وجه ، ويشبه المسافر من وجه آخر .

أما شبهه بالمستوطن: ففي إقامته الطويلة ، وعدم ترخصه برخص السفر ، ولكنه لا يعطى حكم المستوطن ، لأنه لم يقم في المكان إقامة دائمة ، بل في نيته وعزمه الرجوع إلى بلده .

وأما شبهه بالمسافر: فلأنه عازم على العودة إلى بلده ، ولكنه لا يعطى حكم المسافر، لأنه بإقامته الطويلة زال عنه وصف السفر، ولهذا لا يترخص برخص السفر، كقصر الصلاة.

Kategori Ketiga adalah Muqīm.

Muqīm (pemukim) adalah seorang musafir yang telah menetap di suatu wilayah untuk jangka waktu yang membuat status safarnya hilang, seperti ketika dia menetap di suatu wilayah selama satu bulan atau lebih. Orang seperti ini adalah seorang pemukim yang hukumnya dari satu sisi seperti Mustauṯhin dan di sisi lain juga seperti musafir. Adapun persamaannya dengan seorang Mustauṯhin adalah dalam masa menetapnya yang lama dan tidak adanya lagi rukhsah safar baginya. Hanya saja, dia tidak diberi hukum Mustauṯhin karena dia tidak akan menetap di tempat itu selamanya, melainkan ada niat dan tekad untuk kembali ke wilayah asalnya. Adapun kesamaannya dengan seorang musafir adalah adanya keinginan untuk kembali ke wilayahnya, tetapi ia tidak diberikan hukum seorang musafir, karena dia memang menetap dalam waktu yang lama sehingga status safarnya hilang dan tidak ada lagi rukhsah safar baginya, seperti mengqasar salat.

ولهذا أعطى العلماء المقيم حكما بين المسافر والمستوطن، فقالوا : تجب عليه الجمعة إن أقامها غيره من المستوطنين. بل هذا المسافر الذي أقام في المدينة إقامة طويلة هو أشبه بأهل البادية ، في طول الإقامة مع العزم على التنقل وعدم الاستيطان بالمكان ، وقد تقدم أن أهل البادية لا تجب عليهم الجمعة ولا تصح منهم ، لكن .. لما كان هذا المسافر مقيما داخل مدينة ، وجبت عليه الجمعة إن أقامها المستوطنون في المدينة .وسيأتي في كلام ابن قدامة رحمه الله تشبيه المقيم بأهل البادية الذين يقيمون في المكان صيفًا ويرتحلون عنه شتاءً .

Oleh karena itulah para ulama menyematkan kepada orang Muqīm status hukum antara musafir dan Mustauṯhin dengan mengatakan bahwa mereka wajib menunaikan salat Jumat yang diselenggarakan dengan orang lain yang statusnya Mustauṯhin. Bahkan seorang musafir yang menetap di suatu kota untuk waktu yang lama lebih mirip dengan orang badui, yang mana mereka menetap lama tapi ada niat berpindah lagi dan tidak menjadi penduduk tetap di suatu wilayah. Telah lalu pembahasan bahwa orang badui tidak wajib salat Jumat dan salat Jumat yang mereka dirikan (tanpa Mustauṯhin) tidaklah sah. Namun, karena musafir tersebut berada di kota tersebut, maka dia wajib salat Jumat jika salat itu diselenggarakan oleh penduduk tetap kota itu. Akan disebutkan dalam perkataan Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— sisi kemiripan antara pemukim dengan orang badui yang tinggal di suatu tempat selama musim panas lalu meninggalkannya saat musim dingin.

جاء في “روضة الطالبين” [شافعي] (2/37) :

“الغريب إذا أقام ببلد ، واتخذه وطنا : صار له حكم أهله في وجوبها وانعقادها به . وإن لم يتخذه وطنا ، بل عزمه الرجوع إلى بلده بعد مدة يخرج بها من كونه مسافرا ، قصيرة أو طويلة ، كالتاجر والمتفقه ؛ لزمه الجمعة ، ولا تنعقد به ، على الأصح” انتهى وفي تحفة المحتاج [شافعي] (2/434) : “فَلَا تَنْعَقِدُ بِمَنْ يَلْزَمُهُ حُضُورُهَا مِنْ غَيْرِ الْمُسْتَوْطِنِينَ” انتهى .

Disebutkan dalam kitab mazhab Syafii Rauḏhatu aṯ-Ṯālibīn (2/37) bahwa orang asing jika menetap di suatu negeri dan menjadikannya sebagai Waṯhan, maka hukumnya berubah menjadi seperti penduduk setempat dalam hal kewajiban dan keabsahannya dalam penyelenggaraan salat jumat. Adapun jika dia tidak menjadikannya sebagai Waṯhan, melainkan berniat kembali ke negerinya setelah jangka waktu tertentu, baik sebentar atau lama seperti pedagang atau penuntut ilmu, maka dia keluar dari statusnya sebagai musafir, sehingga wajib baginya menunaikan salat Jumat tapi dia tidak dihitung (dalam hitungan jumlah Mustauṯhin yang menyelenggarakan salat Jumat, pent.). Ini menurut pendapat yang lebih sahih. Dalam kitab mazhab Syafii lainnya, Tuẖfatu al-Muẖtāj (2/434) disebutkan bahwa (salat Jumat) tidak dihitung dengan orang yang wajib menghadirinya tapi bukan kalangan Mustauṯhin. Selesai kutipan.

وجاء في “شرح مختصر خليل للخرشي” [مالكي] (2/72) في ذكر شروط وجوب صلاة الجمعة وصحتها:

“الِاسْتِيطَانِ ، وَهُوَ الْعَزْمُ عَلَى الْإِقَامَةِ عَلَى نِيَّةِ التَّأْبِيدِ ، وَلَا تَكْفِي نِيَّةُ الْإِقَامَةِ، وَلَوْ طَالَتْ” انتهى .

وفيه أيضا (2/80) :

“فَلَا تَجِبُ عَلَى مُسَافِرٍ ، وَلَا مُقِيمٍ ، وَلَوْ نَوَى إقَامَةً زَمَنًا طَوِيلًا ؛ إلَّا تَبَعًا” انتهى .

Disebutkan dalam Syarẖ Mukhtasar Khalīl karya al-Kharasyi dalam mazhab Maliki (2/72) yang menyatakan bahwa syarat wajib dan sahnya salat Jumat adalah Istiṯhān, yaitu tekad untuk menetap selamanya, tidak cukup hanya dengan niat tinggal walaupun lama. Selesai kutipan. Disebutkan juga (2/80) bahwa (salat Jumat) tidak wajib bagi seorang musafir atau pemukim meskipun ia berniat untuk tinggal dalam waktu lama, kecuali jika hanya mengikuti (salat Jumatnya Mustauṯhin). Selesai kutipan.

وقال ابن قدامة رحمه الله في “المغني” [حنبلي] (3/218) :

“إذَا أَجْمَعَ الْمُسَافِرُ إقَامَةً تَمْنَعُ الْقَصْرَ ، وَلَمْ يُرِدْ اسْتِيطَانَ الْبَلَدِ ، كَطَالِبِ الْعِلْمِ ، أَوْ الرِّبَاطِ ، أَوْ التَّاجِرِ الَّذِي يُقِيمُ لِبَيْعِ مَتَاعِهِ ، أَوْ مُشْتَرِي شَيْءٍ لَا يُنْجَزُ إلَّا فِي مُدَّةٍ طَوِيلَةٍ ، فَفِيهِ وَجْهَانِ : أَحَدُهُمَا ، تَلْزَمُهُ الْجُمُعَةُ ؛ لِعُمُومِ الْآيَةِ ، وَدَلَالَةِ الْأَخْبَارِ الَّتِي رَوَيْنَاهَا ، فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْجَبَهَا إلَّا عَلَى الْخَمْسَةِ الَّذِينَ اسْتَثْنَاهُمْ ، وَلَيْسَ هَذَا مِنْهُمْ .

وَالثَّانِي : لَا تَجِبُ عَلَيْهِ ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِمُسْتَوْطِنٍ ، وَالِاسْتِيطَانُ مِنْ شَرْطِ الْوُجُوبِ ، وَلِأَنَّهُ لَمْ يَنْوِ الْإِقَامَةَ فِي هَذَا الْبَلَدِ عَلَى الدَّوَامِ ، فَأَشْبَهَ أَهْلَ الْقَرْيَةِ الَّذِينَ يَسْكُنُونَهَا صَيْفًا، وَيَظْعَنُونَ عَنْهَا شِتَاءً ، وَلِأَنَّهُمْ كَانُوا يُقِيمُونَ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ : لَا يُجَمِّعُونَ وَلَا يُشَرِّقُونَ ، أَيْ لَا يُصَلُّونَ جُمُعَةً وَلَا عِيدًا” انتهى .

Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— dalam mazhab Hanbali berkata dalam al-Mughni (3/218) bahwa jika seorang musafir berniat menetap dalam jangka waktu yang membuatnya tidak berhak lagi mengqasar salat, tetapi juga tidak ingin menjadi penduduk tetap di wilayah tersebut, seperti misalnya seorang pelajar, penjaga perbatasan, pedagang yang menetap untuk menjual barangnya, atau pembeli suatu barang yang tidak terselesaikan kecuali dalam jangka waktu yang panjang, maka ada dua pendapat dalam masalah ini.

  • Pertama bahwa dia wajib salat Jumat berdasarkan keumuman ayat dalam masalah ini dan dalil-dalil yang telah kami sampaikan, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam telah mewajibkannya kecuali kepada lima orang, sementara dia tidak termasuk salah satunya. 
  • Kedua, dia tidak wajib salat Jumat, karena dia bukan Mustauṯhin, sementara Istiṯhān adalah syarat wajibnya, dan karena dia sendiri tidak bermaksud untuk tinggal di wilayah ini untuk selamanya sehingga dia lebih seperti masyarakat badui yang menetap di musim panas lalu meninggalkannya saat musim dingin. Di samping itu, karena mereka tinggal di sana selama satu atau dua tahun, maka mereka tidak disyariatkan salat Jumat maupun salat hari raya. Selesai kutipan.

والوجه الثاني الذي ذكره ابن قدامة : هو المذهب عند الحنابلة ، إلا أنه تجب عليه الجمعة إن أقامها المستوطنون .

قال المرداوي الحنبلي في “الإنصاف” (5/170):

“لو أقامَ مدَّةً تمْنَعُ القَصْرَ، ولم ينْوِ اسْتِيطانًا، فالصَّحيحُ مِنَ المذهبِ؛ أنَّ الجُمُعَةَ تلْزَمُه بغيرِه. قدَّمه فى الفُروعِ. وقال: إنَّه الأشْهَرُ” انتهى .

Pendapat kedua yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah ini menjadi pendapat mazhab Hanbali, tetapi dia wajib salat Jumat jika salat itu diselenggarakan oleh para Mustauṯhin. Al-Mardawi al-Hanbali berkata dalam al-Inṣhāf (5/170) bahwa jika seseorang tinggal dalam jangka waktu yang menjadikannya tidak boleh mengqasar tapi dia juga tidak berniat untuk menjadi penduduk tetap, maka pendapat yang benar dalam mazhab adalah wajibnya salat Jumat baginya yang diselenggarakan dengan orang lain. Ini beliau nyatakan dalam al-Furūʿ dan mengatakan, “Ini adalah pendapat yang paling terkenal.” Selesai kutipan. 

 وسئل الشيخ محمد بن عثيمين رحمه الله عدة أسئلة من إحدى الجمعيات الإسلامية في دولة غربية، عن إقامة الجمعة في مدينتهم، فكان جوابه:” …المسألة الثانية: إقامتكم الجمعة في البلد التي أنتم فيها، والحكم فيها يتحرر بتحرير الأمور التالية:

أ- هل تقام الجمعة في السفر؟

ب- هل يشترط لها عدد معين؟

ج- هل تقام في غير البلاد الإسلامية؟

Syekh Muhammad bin Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— pernah disodori beberapa pertanyaan dari salah satu organisasi Islam di negara Barat tentang penyelenggaraan salat Jumat di kota mereka, dan beliau menjawab “… Adapun masalah kedua, tentang penyelenggaraan salat Jumat di negara tempat Anda berada dan hukumnya, maka pembahasannya dirinci dengan hal-hal berikut: (a) Apakah salat Jumat dilaksanakan saat safar? (b) Apakah salat Jumat dipersyaratkan harus dengan jumlah tertentu? (c) Apakah salat Jumat bisa diselenggarakan di negara selain negara Islam?

فأما الأول: فإن جمهور العلماء على أن الجمعة لا تقام في السفر؛ لأن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وخلفاءه الراشدين وأصحابه كانوا يسافرون ولا يقيمون الجمعة، فهذه حجة الوداع آخر سفر سافره النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وصادف يوم الجمعة فيه يوم عرفة، ولم يصلِّ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فيه صلاة الجمعة، قال جابر رضي الله عنه في حديثه الطويل الذي رواه مسلم في صفة حج النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ثم أذن، ثم أقام فصلى الظهر، ثم أقام فصلى العصر، ولم يصلِّ بينهما شيئاً. 

Adapun yang pertama, maka jumhur ulama berpendapat bahwa salat Jumat tidak diselenggarakan dalam safar, karena Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, para Khulafaur Rasyidin, dan para Sahabat beliau dahulu juga bersafar tapi tidak menyelenggarakan salat Jumat. Dalam haji Wadāʿ, yang menjadi safar terakhir yang dilakukan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, yang mana hari Jumat bertepatan dengan hari Arafah, dan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak menunaikan salat Jumat di sana. Jabir —Semoga Allah Meridainya— dalam hadisnya yang panjang yang diriwayatkan oleh Muslim tentang deskripsi haji Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata, “Kemudian dikumandangkan azan, kemudian beliau berdiri untuk salat Zuhur, kemudian berdiri lagi untuk salat Asar, tanpa ada salat lain di antara keduanya.” 

ولو كانت الجمعة مشروعة في السفر لفعلها النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لوجوب إبلاغ الدين عليه، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ولو فعلها لنقل إلينا؛ لأن الله تكفل بحفظ الدين، فإذا انتفت مشروعية الجمعة في السفر انتفت صحتها وقبولها لقول النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد. أي مردود، وقوله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عليكم بسنتي، وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي، وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل بدعة ضلالة.

Seandainya salat Jumat disyariatkan dalam safar, pastilah Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam akan melakukannya karena adanya kewajiban beliau untuk menyampaikan agama. Jika beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam pernah melakukannya, tentu riwayatnya akan sampai kepada kita. Allah Yang Bertanggungjawab dalam menjaga agama ini, maka jika tidak ada syariat salat Jumat saat safar, maka salat itu tidak sah dan diterima, berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Barang siapa yang melakukan suatu amal tanpa ada perintah dari kami, maka ia tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim) Artinya, amalannya tidak diterima. Juga sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, “Kalian wajib berpegang dengan Sunahku dan sunah para khalifah setelahku yang telah mendapat petunjuk. … Jauhilah perkara (agama) yang diada-adakan, karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bidah dan setiap bidah adalah kesesatan.” (HR. Tirmidzi)

وعلى هذا ؛ فإذا لم يكن في البلد التي أنتم فيها جماعة من المسلمين مستوطنون؛ فإنها لا تقام فيها الجمعة؛ لأن المقيمين فيها من الطلاب الذين نيتهم تركها بعد انتهاء دراستهم : ليسوا مستوطنين ؛ فلهم حكم المسافرين في عدم إقامة الجمعة، بل هم مسافرون على ما اختاره شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله ؛ لهم حكم المسافرين في كل شيء.أما إن كان في البلد التي أنتم فيها جماعة من المسلمين مستوطنون : فإن الجمعة تقام فيها ، وتصلونها معهم” انتهى من “مجموع فتاوى الشيخ ابن عثيمين” (16/41).

Dengan demikian, jika di negara tempat Anda berada tidak ada jemaah kaum muslimin yang statusnya sebagai Mustauṯhin, maka tidak perlu diselenggarakan salat Jumat, karena pemukim dari kalangan pelajar yang berniat pergi setelah menyelesaikan studinya bukanlah Mustauṯhin, sehingga hukum mereka seperti musafir yang tidak perlu menyelenggarakan salat Jumat, bahkan mereka memang musafir menurut pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah —Semoga Allah Merahmatinya—, yang melekat hukum musafir dalam segala hal. Adapun jika di negara tempat Anda berada ada jemaah kaum muslimin yang statusnya sebagai Mustauṯhin, maka salat Jumat diselenggarakan dan kalian melaksanakannya bersama mereka. Selesai kutipan Majmūʿ Fatāwā asy-Syeikh Ibni ʿUtsaimīn (16/41).

على أن بعض العلماء –كشيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله – لا يوافق على هذا التقسيم السابق، بل يرى أن الناس قسمان فقط: إما مسافر، وإما مقيم مستوطن.

أما القسم الثالث الذي سبق ذكره ، وهو المقيم إقامة طويلة من غير عزم على استيطان المكان فإنه يرى أنه مسافر، له أحكام المسافر. وقد أشار الشيخ ابن عثيمين إلى هذا في فتواه السابقة.

ولا يعني هذا أنه يرى أن هذا المسافر لا يصلي الجمعة ، ولو كان داخل مدينة تقام فيها الجمعة ، بل إنه يميل رحمه الله إلى إلزام المسافر بصلاة الجمعة إن كان داخل المدينة وأقامها المقيمون بها .

Menurut pendapat sebagian ulama, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah —Semoga Allah Merahmatinya—, dia tidak setuju dengan pembagian tersebut, melainkan memandang bahwa orang-orang hanya terbagi menjadi dua kategori saja, musafir atau Muqīm Mustauṯhin (penduduk tetap). Kategori ketiga yang disebutkan sebelumnya, yaitu orang yang tinggal di suatu wilayah dalam jangka waktu yang lama tanpa bermaksud menetap di tempat tersebut selamanya, maka menurut beliau dia adalah musafir, yang berlaku padanya hukum-hukum musafir. Syekh Ibnu Utsaimin menyinggung pendapat ini dalam fatwa tersebut. Ini bukan berarti bahwa ia berpendapat bahwa musafir tersebut tidak melaksanakan salat Jumat jika ia berada di kota yang diselenggarakan padanya salat Jumat, justru dia —Semoga Allah Merahmatinya— cenderung pada pendapat yang mewajibkan musafir tersebut untuk salat Jumat jika dia masuk ke suatu kota di mana penduduknya menyelenggarakan salat Jumat.

فقال رحمه الله :

“وَكَذَلِكَ يُحْتَمَلُ أَنْ يُقَالَ بِوُجُوبِ الْجُمُعَةِ عَلَى مَنْ فِي الْمِصْرِ مِنْ الْمُسَافِرِينَ – وَإِنْ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِمْ الْإِتْمَامُ – كَمَا لَوْ صَلَّوْا خَلْفَ مَنْ يُتِمُّ فَإِنَّ عَلَيْهِمْ الْإِتْمَامَ تَبَعًا لِلْإِمَامِ ، كَذَلِكَ تَجِبُ عَلَيْهِمْ الْجُمُعَةُ تَبَعًا لِلْمُقِيمِينَ ، كَمَا أَوْجَبَهَا عَلَى الْمُقِيمِ غَيْرِ الْمُسْتَوْطِنِ تَبَعًا مَنْ أَثْبَتَ نَوْعًا ثَالِثًا بَيْنَ الْمُقِيمِ الْمُسْتَوْطِنِ وَبَيْنَ الْمُسَافِرِ وَهُوَ الْمُقِيمُ غَيْرُ الْمُسْتَوْطِنِ فَقَالَ: تَجِبُ عَلَيْهِ وَلَا تَنْعَقِدُ بِهِ.

Beliau —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Boleh juga dikatakan bahwa salat Jumat itu wajib bagi para musafir yang ada di suatu kota —meskipun dia tidak diwajibkan Itmām (yakni menyempurnakan jumlah rakaat salat wajibnya)— sebagaimana jika dia bermakmum kepada imam yang mengerjakan salat secara Itmām, maka dia wajib Itmām juga karena harus mengikuti imam. Demikian juga dia wajib untuk menunaikan salat Jumat karena mengikuti penduduk setempat. Pemukim yang bukan Mustauṯhin juga diwajibkan salat Jumat karena mengikuti Mustauṯhin, menurut pendapat ulama yang menetapkan adanya kategori ketiga, yakni orang yang statusnya ada di antara Muqīm Mustauṯhin dan musafir, yakni pemukim yang tidak berniat menjadi Mustauṯhin. Mereka mengatakan bahwa wajib baginya salat Jumat tapi dia tidak bisa menyelenggarakannya sendiri.

وَقَدْ بَيَّنَ فِي غَيْرِ هَذَا الْمَوْضِعِ أَنَّهُ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ وَلَا سُنَّةِ رَسُولِهِ إلَّا مُقِيمٌ وَمُسَافِرٌ. وَالْمُقِيمُ هُوَ الْمُسْتَوْطِنُ وَمَنْ سِوَى هَؤُلَاءِ فَهُوَ مُسَافِرٌ يَقْصُرُ الصَّلَاةَ ، وَهَؤُلَاءِ تَجِبُ عَلَيْهِمْ الْجُمُعَةُ ، لِأَنَّ قَوْلَهُ إذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ وَنَحْوِهَا يَتَنَاوَلُهُمْ وَلَيْسَ لَهُمْ عُذْرٌ ، وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ فِي مِصْرِ الْمُسْلِمِينَ مَنْ لَا يُصَلِّي الْجُمُعَةَ إلَّا مَنْ هُوَ عَاجِزٌ عَنْهَا كَالْمَرِيضِ وَالْمَحْبُوسِ ، وَهَؤُلَاءِ قَادِرُونَ عَلَيْهَا؛ لَكِنْ الْمُسَافِرُونَ لَا يَعْقِدُونَ جُمُعَةً ، لَكِنْ إذَا عَقَدَهَا أَهْلُ الْمِصْرِ صَلَّوْا مَعَهُمْ ، وَهَذَا أَوْلَى مِنْ إتْمَامِ الصَّلَاةِ خَلْفَ الْإِمَامِ الْمُقِيمِ” انتهى من “مجموع الفتاوى” (24/184). وقد اختار هذا القول الشيخ محمد بن عثيمين رحمه الله ، كما في كما في “مجموع الفتاوى” (15/333).

Telah dijelaskan di pembahasan lain bahwa dalam Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak disebutkan kecuali Muqīm dan musafir. Orang yang Muqīm adalah Mustauṯhin. Adapun selain itu berarti musafir yang boleh mengqasar salat. Mereka wajib menunaikan salat Jumat berdasarkan firman-Nya (yang artinya), “… Apabila telah diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jumat, ….” (QS. Al-Jumu’ah: 9) dan dalil lainnya yang mana Mereka tercakup di dalamnya sementara Mereka tidak ada uzur. Jadi, tidak selayaknya di kota umat Islam ada orang yang tidak melaksanakan salat Jumat, kecuali jika dia memang tidak mampu, seperti orang sakit atau dipenjara. Adapun mereka, mereka mampu melakukannya, tetapi para musafir tidak boleh menyelenggarakan salat Jumat sendiri. Namun jika masyarakat suatu wilayah yang menyelenggarakannya, maka musafir salat bersama mereka. Ini lebih utama diikuti daripada mengikuti Itmām ketika bermakmum di belakang imam yang statusnya pemukim. Selesai kutipan dari Majmūʿ al-Fatāwā (24/184). Pendapat ini dipilih oleh syekh Muhammad bin Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— sebagaimana tersebut dalam Majmūʿ al-Fatāwā-nya (15/333).

وأخيرا ..

ما استشكله السائل ، من ترك المقيمين صلاة الجمعة سنين طويلة إذا لم يكن في المدينة مستوطنون يقيمونها .. لا شك أنه إشكال قوي ، وقد استشكله بعض العلماء ، كما في “حاشية عميرة” (4/43) حيث قال:

“ثُمَّ قَضِيَّةُ شَرْطِ الِاسْتِيطَانِ: أَنَّهُ لَوْ أَقَامَ أَرْبَعُونَ رَجُلًا فِي بَلَدٍ سِنِينَ كَثِيرَةً مِنْ غَيْرِ اسْتِيطَانٍ، وَلَيْسَ فِيهَا غَيْرُهُمْ: لَا تَجِبُ عَلَيْهِمْ الْجُمُعَةُ، وَهُوَ مُشْكِلٌ؛ وَإِنْ كَانَ هُوَ قَضِيَّةُ الْمُهَذَّبِ” انتهى.

وأجاب بعض العلماء عن هذا، بما حاصله: ما دام الشرع لم يَرد بإقامة الجمعة إلا من المستوطنين ، فهذا هو الواجب.

Terakhir, apa yang dipermasalahkan oleh penanya di mana orang yang berstatus Muqīm akan meninggalkan salat Jumat selama bertahun-tahun jika di suatu kota tidak ada para Mustauṯhin yang menyelenggarakannya. Tidak ada keraguan bahwa ini adalah masalah problematik, yang sudah dipermasalahkan sebagian ulama, seperti yang tersebut dalam H̱āsyiyah ʿAmīrah (4/43) di mana dia berkata, “Berkenaan dengan permasalahan syarat Istīṯhān, maka jika ada empat puluh orang laki-laki bermukim di suatu negeri bertahun-tahun lamanya padahal mereka bukan penduduk tetap dan tidak ada orang selain mereka, maka salat Jumat hukumnya tidak wajib bagi mereka. Ini tentu problematik, walaupun ini pendapat yang dikukuhkan dalam mazhab.” Selesai kutipan. Sebagian ulama memberikan tanggapan atas masalah ini, yang bisa disimpulkan bahwa selama syariat tidak mewajibkan untuk menyelenggarakan salat Jumat kecuali oleh para penduduk tetap, maka demikianlah kewajibannya. 

ذكر البجيرمي في حاشيته (5/317) كلام عميرة السابق ثم قال :

“.. وَهُوَ مُشْكِلٌ ، وَإِنْ كَانَ هُوَ الْمَذْهَبُ ، كَمَا قَالَهُ عَمِيرَةُ ، لَكِنْ قَالَ ابْنُ قَاسِمٍ : يَكْفِي فِي الدَّلِيلِ: أَنَّ غَالِبَ أَحْوَالِهَا التَّعَبُّدُ ، وَلَمْ تَثْبُتْ إقَامَتُهَا بِغَيْرِ مُسْتَوْطِنِينَ” انتهى.

ومن أجل قوة هذا الإشكال ، واختلاف العلماء في هذه المسألة : أجاز الشيخ محمد بن عثيمين رحمه الله لأحد المراكز الإسلامية في الغرب أن يقيموا الجمعة ، بالرغم من عدم وجود مستوطنين بالمدينة ، مع أنه أكد عليهم في الفتوى أنه يرجح عدم إقامتها .

Al-Bujairimi dalam H̱āsyiyah-nya (5/317) menyebutkan perkataan ʿAmīrah yang tadi, lalu berkomentar, “Ini tentu problematik, walaupun ini pendapat yang dikukuhkan dalam mazhab, seperti yang dikatakan ʿAmīrah. Hanya saja Ibnu Qasim berkata, ‘Dalilnya cukup bahwa sebagian keadaan ini sifatnya adalah Taʿabbudī (Ibadah yang tidak bisa dicerna dengan logika) dan bahwa tidak ada dalil penyelenggaraannya tanpa Mustauṯhin.’” Selesai kutipan. Saking problematiknya masalah ini, para ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya. Syekh Muhammad bin Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— membolehkan salah satu Islamic Centre di negara Barat untuk menyelenggarakan salat Jumat meskipun tidak ada Mustauṯhin di kota itu, padahal beliau menegaskan dalam fatwanya bahwa yang lebih tepat adalah tidak menyelenggarakannya.

فقال رحمه الله في إجابته لهم عن بعض الأسئلة:

” ج5 : وأما ترك إقامة الجمعة من غير المستوطنين ، ولو كانوا مقيمين ؛ فهذا ما ذكره فقهاء الحنابلة . وهو موضع خلاف بين أهل العلم:

فقهاء الحنابلة يرون أنه لا تصح الجمعة من هؤلاء، وهو المشهور عند الشافعية.

وفيه وجه للشافعية بالجواز.

فإن رأيتم أن في إقامتها مصلحة للإسلام والمسلمين ؛ فأرجو أن لا يكون في ذلك بأس ، إن شاء الله تعالى، مع أني – والله – أرجح عدم إقامتها، إلا إذا كان معهم مستوطنون.

Beliau —Semoga Allah Merahmatinya— mengatakan dalam jawaban kelima atas beberapa pertanyaan yang disampaikan bahwa tidak menyelenggarakan salat Jumat karena tidak adanya Mustauṯhin walaupun mereka adalah pemukim adalah pendapat ulama mazhab Hanbali. Namun inilah yang diperselisihkan oleh para ulama. Para ulama mazhab Hanbali berpendapat bahwa salat Jumat yang mereka lakukan tidak sah. Ini juga pendapat yang terkenal di kalangan mazhab Syafii, tetapi ada pendapat dari kalangan Syafii yang membolehkan. Jika Anda memandang bahwa menyelenggarakan salat Jumat membawa maslahat bagi Islam dan umat Islam, maka saya berharap hukumnya tidak mengapa, insyaallah. Meskipun demikian, demi Allah, aku memandang yang lebih tepat adalah tidak menyelenggarakannya kecuali jika bersama Mustauṯhin.

ومصلحة الاجتماع تحصل بدون إقامة الجمعة ، مثل أن تنظم ندوات شهرية، أو أسبوعية ، تلقى فيها الخطب، وتحصل المناقشات التي فيها الفائدة الحاصلة بخطبة الجمعة والاجتماع لها.

وأسأل الله لي ولكم العافية، والتوفيق للصواب، وليست هذه الأمور الشرعية تؤخذ بما يبدو من المصالح التي قد تحصل بغيرها بدون تعدٍّ لقواعد الشريعة، والله تعالى أحكم الحاكمين” انتهى من مجموع فتاوى الشيخ ابن عثيمين” (16/59) .

Maslahat berkumpulnya umat Islam bisa diwujudkan tanpa penyelenggaraan salat Jumat, seperti misalnya mengadakan seminar bulanan atau pekanan yang ada khotbahnya dan sesi diskusi sehingga mendatangkan maslahat seperti maslahat khotbah dan perkumpulan saat salat Jumat. Saya memohon untuk saya dan kalian semua keselamatan dan taufik kepada kebenaran. Masalah syariat ini tidak boleh disikapi berdasarkan pertimbangan sesuatu yang dinilai maslahat tanpa mengikuti kaidah-kaidah syariat sementara maslahat itu bisa terwujud dengan selain itu. Allah-lah sebaik-baik hakim. Selesai kutipan dari Majmūʿ Fatāwā asy-Syeikh Ibni ʿUtsaimīn (16/59).

وعليه ؛ فلو وجد مقيمون في بلد ليس معهم ثلاثة من المستوطنين، فلهم أن يقيموا الجمعة، كما هو وجه عند الشافعية والحنابلة، فإن كان معهم ثلاثة مستوطنون، أقاموا الجمعة تبعا لهم، عملا بالقول بأن الجمعة تصح من ثلاثة.

وينظر: جواب السؤال رقم: (7718)، ورقم: (14564). 

والله أعلم.

Dengan demikian, jika ada pemukim di suatu wilayah tapi tidak ada tiga Mustauṯhin bersama mereka, maka mereka boleh menyelenggarakan salat Jumat, sebagaimana ini adalah salah satu pendapat dalam mazhab Syafii dan Hanbali. Jika ada tiga orang Mustauṯhin bersama mereka, maka mereka boleh menyelenggarakan salat Jumat mengikuti mereka. Namun ini berdasarkan pendapat yang mengatakan bahwa salat Jumat sah jika dikerjakan oleh minimal tiga orang. Lihat jawaban pertanyaan nomor 7718 dan 14564. Allah Yang lebih Mengetahui.

Sumber: https://islamqa.info/ar/answers/283385/لماذا-يشترط-الاستيطان-لاقامة-صلاة-الجمعة

PDF Sumber Artikel.

Print Friendly, PDF & Email

Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28